Tauhid dan Kemerdekaan
Oleh M. Anwar Djaelani
Apakah tauhid itu? Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mensyaratkan adanya kepatuhan yang bulat hanya kepada Allah. Lebih lugas lagi, mentauhidkan atau meng-Esakan Allah, bermakna meletakkan Allah dan semua perintah-perintah-Nya di atas segala-galanya, terutama di atas kepentingan dan keinginan pribadi. Lalu, apa hubungan tauhid dan kemerdekaan?
Fondasi Keseharian
Menarik, jika kita telaah relasi antara tauhid dan kemerdekaan. Terkait ini, Muhammad Imaduddin AbdulRahim lewat bukunya–Kuliah Tauhid-memberikan ulasan berharga. Dia menulis: “Mentauhidkan Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul, yang diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Namun, sejarah kemanusiaan penuh dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran tauhid ini. Sehingga, setiap kali ajaran yang murni dan eksak ini perlu diperbarui atau dikoreksi oleh Rasul-Rasul berikutnya, sesudah mengalami beberapa distorsi yang membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.”
Lebih jauh, Muhammad Imaduddin AbdulRahim menulis: “Nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan, manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia, atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu”.
Bagaimana kondisi kita kini? Sebagai individu, benarkah kita telah menjadi manusia merdeka? Sudahkah semua pikiran dan sikap kita semata-mata hanya kita tundukkan kepada Allah saja? Ataukah, sebaliknya, pikiran dan sikap kita masih sering diintervensi, bahkan dijajah, oleh anasir-anasir selain Allah? Sudahkah dalam keseharian, kita telah benar-benar bebas dari pengaruh “tuhan” yang bernama hawa nafsu?
Seperti yang telah kita ketahui, salah satu penjajah besar dalam diri dan terhadap manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Bahkan, kerap pula hawa nafsu itu dijadikan sebagai tuhan, sebagai ilah, yang disembah dan dituruti segala macam perintahnya. Padahal Al-Qur’an telah mengingatkan agar kita sekali-kali tak menuhankan hawa nafsu, lewat ayat ini: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkan sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS Al-Jaatsiyah [45]: 23).
Lebih lanjut, cermati juga ayat ini: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS Al-Furqaan [25]: 43-44).
Lalu, sebagai negara, benarkah kita telah merdeka? Jika memang benar-benar merdeka, sudahkah semua kebijakan yang kita ambil telah bebas sepenuhnya dari keterpengaruhan pihak asing?
Di bidang ekonomi, misalnya, adakah pengaruh pihak asing dalam sejumlah kebijakan kita? Perhatikan juga di bidang budaya. Pada nilai-nilai budaya yang berkembang di tengah masyarakat, sudah tak adakah jejak keterpengaruhan dari pihak asing yang sekular dan liberal?
Selanjutnya, berdasarkan pemahaman tauhid seperti yang telah disampaikan di depan, maka tidak wajar jika ada manusia yang semata-mata tunduk, patuh, dan taat kepada sesama manusia. Bukankah, manusia itu berderajat sama?
Jika terjadi manusia yang satu tunduk, patuh, dan taat kepada sesama manusia, maka pada hakikatnya manusia tersebut telah menghambakan dirinya kepada sesama makhluq. Itu berarti, dia tidak lagi menjadi orang yang merdeka. Penghambaan manusia kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk keterjajahan dia sebagai manusia.
Makna penjajahan seperti di atas, perlu dimengerti dengan baik. Sebab, sejauh ini pemahaman makna penjajahan masih klasik, yaitu penjajahan hanya dimengerti sebagai dominasi politik dan militer suatu negara atas negara yang lain.
Apa solusi atas keadaan kita sekarang ini? Mulailah dengan menanamkan jiwa merdeka dalam diri manusia. Dalam hubungan ini, bagi umat Islam, jiwa dan pikiran merdeka itu-tidak bisa tidak-harus dibangun dari dasar tauhid.
Islam datang untuk memerdekakan manusia dan untuk membawanya ke satu peradaban yang tinggi, yang bermartabat. Islam datang dengan nilai dasar tauhid. Tauhid-lah yang secara hakiki bisa membebaskan jiwa dan pikiran manusia dari penjajahan. Dengan tauhid, manusia hanya akan mengakui keagungan dan kedaulatan Allah semata-mata. Dengan dasar tauhid, manusia tidak akan gentar dan tunduk kepada kekuatan lain kecuali hanya kepada Allah.
Lihatlah! Di sebuah kesempatan, Abu Bakar Ra menginfaqkan seluruh hartanya di Jalan Allah, sebab dia telah merdeka dari pengaruh harta. Lalu, Ali bin Abi Thalib Ra berani menggantikan Rasulullah Saw tidur di pembaringannya pada peristiwa hijrah sebab dia telah merdeka dari rasa takut kepada yang selain Allah. Kemudian, Bilal bin Rabah Ra tabah menerima siksaan kaum kafir Quraisy, sebab jiwa Bilal Ra telah merdeka dari pengaruh kekuasaan orang lain.
Mengingat fondasi Islam adalah tauhid, maka menjadi tugas utama kita untuk menegakkan tauhid dalam keseharian. Dengan demikian, membebaskan masing-masing pribadi umat Islam-dan akan lebih elok lagi jika kita turut pula membebaskan masyarakat-dari berbagai belenggu penjajahan model baru, adalah pekerjaan yang amat sangat mulia.
Peran dan Respon
Alhasil, dalam usaha menegakkan tauhid, maka salah satu langkah yang bisa kita kerjakan adalah dengan berpartisipasi secara aktif mengurangi berbagai hal yang dapat melemahkan ketauhidan. Misalnya, cegahlah dan atau jawablah berbagai pemikiran yang berkembang di sekitar kita, yang sekiranya dapat menghancurkan ketauhidan umat Islam. []