Rasjidi

KISAH HM RASJIDI MENGALAHKAN TOKOH ORIENTALIS

Oleh : Dr. Adian HusainiKetua Umum DDII Pusat

Prof. HM Rasjidi adalah salah satu tokoh dan cendekiawan terkemuka di Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Agama RI pertama yang memimpin suatu kementerian. Ia dikenal sebagai sosok ulama dan sekaligus cendekiawan terkemuka di Indonesia. Jasanya kepada agama dan bangsa sangat luar biasa.

Dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution,  (1989), Rasjidi menuturkan sebuah kisah menarik tentang perdebatannya dengan Prof. Joseph Schacht di Mac Gill University.  Di MacGill itulah, HM Rasjidi pernah dituduh anti-orientalis, karena ia tidak sependapat dengan Joseph Schacht. Gara-gara itu, ia sempat diadili sebagai ‘terdakwa’ di kampus terkenal di Kanada itu. 

Kisahnya demikian. Suatu ketika, Joseph Schacht berceramah di McGill University. Profesor orientalis terkenal itu mempersamakan antara hukum Islam dengan hukum masyarakat Arab Jahiliyah di Arabia. Menurutnya, sistem hukum di Arabia sebelum Islam adalah ‘arbitrage’, karena tidak ada hukum tertulis. 

Arbritage dalam bahasa Arab adalah ‘hakama’. Yang bertindak sebagai hakim (penengah) bukan hanya kepala suku, tetapi juga tiap orang yang dianggap bijaksana. Oleh karena itu, meskipun Nabi Muhammad mempunyai kekuasaan politik dan militer, ia selalu bertindak sebagai ‘arbitre’ (penengah) dan tidak mempunyai kekuasaan legislatif. 
Mendengar ceramah Prof. Scahcht, kata Rasjidi, para guru besar nampak puas dan bangga. Tetapi sebaliknya, para mahasiswa yang kebanyakan  beragama Islam kelihatan gelisah. Mereka ingin bertanya, namun wibawa Schacht menghalangi. Ketika itulah, Rasjidi tampil mendebat Shacht. Uraian Schacht, kata Rasjidi, lahir dari kekeliruan dalam memahami bahasa Arab. Kata ‘hakama’ dan ‘qadha’ (memutuskan) dalam al-Quran adalah sinonim. Dan memang ‘hakama’ secara khusus juga berarti ‘arbitrage’. 

Tanggapan Rasjidi berbuntut panjang. Direktur Institut, Prof. Wilfred Cantwell Smith memutuskan untuk mengadakan libur satu hari, digantikan dengan perdebatan tentang teori Schacht tersebut. Rasjidi dihadapkan kepada forum untuk membahas segala tanggapan. “Saya dianggap telah merongrong wibawa para pemimpin orientalisme,” papar Rasjidi. 

Dalam forum itu, Rasjidi tampil gigih. Dia menjelaskan, bahwa tidak mungkin setelah menerima wahyu, Nabi Muhammad akan menggunakan sistem hukum Arab sebelum Islam (Jahiliyah). Arbitrage hanya mungkin dilakukan jika tidak ada teks hukum al-Quran. Schacht hanya ingin menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak menghendaki untuk membentuk sistem hukum; yang membentuk sistem hukum adalah para khalifah sesudah Nabi. 

Rasjidi kembali menegaskan, bahwa kata ‘hakama’ dan ‘qadha’ memang sinonim. Setelah mendengar uraian Rasjidi, para guru besar di situ berkata, “Bahasa Arab memang sukar. Ada kata-kata yang sama tetapi berlainan arti, bahkan ada satu kata yang berarti dua yang bertentangan.” 

Ketika itu seluruh guru besar di Islamic Studies di McGill menentangnya. Tetapi, tiba-tiba, seorang guru besar berkebangsaan Jepang, Prof. Toshihiko Izutsu, memecahkan suasana tegang tersebut, dengan menyatakan, ‘’Yang benar adalah Rasjidi.’’ Guru-guru besar orang Barat merasa tidak mampu mendebat penjelasannya. 
Akhirnya, setelah lima tahun di McGill, kontrak Rasjidi tidak diperpanjang. Ia melanjutkan aktivitasnya untuk mengelola satu Islamic Centre di Washington, yang memiliki masjid, perpustakaan dan lembaga pendidikan. 

HM Rasjidi dikenal sebagai ilmuwan muslim yang handal dan memiliki pendirian teguh. Sederet aktivitasnya di dunia Barat tidak mambuat Rasjidi silau dan terpukau dengan Barat. Sekembalinya ke Indonesia, ia aktif mengajar, menulis, dan mengkritisi pemikiran-pemikiran dan metodologi studi Islam gaya orientalis yang sering dihadapinya di Barat. Sejumlah buku-buku penting diterjemahkannya. Meskipun buku-buku karyanya sendiri tidak terlalu tebal, tetapi buku-bukunya memiliki nilai ilmiah yang tinggi. 

Rasjidi memang memilih jalan pikiran dan hidupnya dalam keyakinan Islamnya. Ia rela berhadapan dengan arus global sekularisme-liberalisme yang mencengkeram begitu banyak cendekiawan kalangan Muslim. Karena itu, bisa dimengerti jika sosok dan pemikirannya tidak diekspose besar-besaran oleh media massa. Dan ketika Rasjidi wafat, pada 30 Januari 2001, media massa pun tidak terlalu gegap gempita memberitakannya. 

Namun, emas tetap emas; mutiara tetaplah mutiara; dan loyang tetaplah loyang. Yang asli dan tiruan lama-lama akan ketahuan juga. Rasjidi adalah teladan dan mutiara cendekiawan Muslim yang gigih dan kokoh dalam pendiriannya dalam mempertahankan kebenaran. Ia tidak silau dengan gebyar dan gemerlapnya pemikiran kaum orientalis. Ia tidak terpukau dengan kulit luar. Ia berani berbeda dan melawan arus pemikiran, dengan resiko disudutkan dan tidak populer. Itulah sosok dan pendirian Prof. HM Rasjidi, putra Yogya kelahiran Kotagede, 20 Mei 1915. 

Alhamdulillah, sekitar tahun 2006 saya sempat menerima wakaf seluruh koleksi perpustakaan HM Rasjidi, dari keluarganya di Jakarta. Buku-buku itu diserahkan oleh istri HM Rasjidi kepada Perpustakaan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Saat ini, seluruh koleksinya dibuatkan ruang tersendiri dalam satu tempat bernama “Rasjidi Corner”. Banyak sekali buku-buku yang sangat bermutu dan penting untuk kajian pemikiran Islam. 

Sosok dan pemikiran HM Rasjidi telah ditulis oleh Dr. Zaki menjadi sebuah disertasi doktor di Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia. Sebagai guru besar di Universitas Indonesia,  HM Rasjidi memiliki banyak murid yang loyal dan terus mengenangnya sebagai sosok yang memiliki ketinggian ilmu dan sikap yang kokoh dalam memperjuangkan keagungan ajaran Islam. Di Kementerian Agama, namanya diabadikan menjadi salah satu Aula di Kantor Kementerian Agama RI. Semoga akan banyak lahir sosok-sosok cendekiawan yang tinggi ilmu dan gigih dalam dakwah, seperti halnya Prof. Dr. HM Rasjidi. Aamin. (Depok, 7 Agustus 2021).


Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *