INILAH BAHAYA FILSAFAT SEKULER MENURUT PAK NATSIR

INILAH BAHAYA FILSAFAT SEKULER MENURUT PAK NATSIR

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat

dewandakwahjatim.com – Dalam acara Diskusi Kebangsaan menyambut Peringatan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, saya kembali meyampaikan peringatan Mohammad Natsir tentang bahaya filsafat sekuler bagi bangsa Indonesia. Hal itu disampaikan Pak Natsir pada 12 November 1957, di Bandung, beberapa bulan sebelum dibubarkannya Majelis Konstituante.

Dalam acara yang diikuti ratusan peserta itu, saya mengajak para pimpinan dan kader-kader Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia khususnya, agar membaca dan merenungkan Kembali isi pidato Pak Natsir tahun 1957 tersebut. Tahun 2007 lalu, saya pun diingatkan oleh Allahyarham Hussein Umar, agar membaca Kembali pidato Pak Natsir tersebut. Bahkan, itulah pesan terakhir, Bang Hussein Umar – ketua umum Dewan Da’wah ketika itu – kepada saya, sebelum ia dipanggil Allah SWT.

Memang pidato Pak Natsir tentang bahaya sekulerisme itu sangat komprehensif. Pak Natsir bukan hanya menyorot bahaya sekulerisme dari aspek hukum dan politik, tetapi juga dari aspek filsafat dan keilmuan.
“Filsafat sekuler hanya mengakui dasar berpikir empirisme (mahalul tajribah), rasionalisme (mahalul-aqly), dan intuitionisme (mahalul-ilhami). “Dasar wahyu, revelation atau pun openbaring tidak diakuinya. Agama lebih daripada itu. Ia mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah berlakunya masing-masing. Karena itu, agama lebih luas dan lebih dalam daripada paham sekuler,” kata Pak Natsir.

Paparan Pak Natsir tentang filsafat sekuler itu sangat menarik. Filsafat sekuler lebih sempit dan terbatas. Sebab, dasar berpikirnya hanya berdasarkan inderawi, akal, dan intuisi. Wahyu tidak diakui sebagai sumber ilmu. Sebaliknya, konsep keilmuan agama (Islam) lebih luas lagi. Bahkan, Islam menempatkan masing-masing sumber ilmu itu pada tempatnya.

Kebijakan PPKM

Cara pandang Pak Natsir itu bis akita terapkan, misalnya, dalam konsep penanggulangan Covid-19. Dalam penanggulangan pandemi Covid-19, pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan PPKM Darurat (3-20 Juli 2021). Disebutkan dalam kebijakan ini, bahwa
kegiatan sektor esensial dapat beroperasi 100 persen dengan pengaturan jam operasional, kapasitas, dan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat. Sektor ini antara lain termasuk industri, pelayanan dasar, utilitas publik, objek vital nasional, dan juga tempat pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat (pasar, toko, swalayan, supermarket, dan lain-lain) baik yang berdiri sendiri maupun di pusat perbelanjaan/mal.

Itulah yang dimasukkan dalam kategori sektor esensial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “esensial” diartikan sebagai: “perlu sekali, mendasar, atau hakiki”. Dengan definisi ini, sepatutnya pemerintah juga memasukkan aspek ibadah ke dalam sektor esensial. Sebab, bagi umat Islam, ibadah itu termasuk ke dalam sektor esensial.
Kebijakan PPKM Darurat menetapkan, bahwa kegiatan di tempat ibadah (masjid, mushala, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya) diberlakukan ketentuan: Zona Merah: ditiadakan sementara sampai dengan dinyatakan aman, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag); dan Zona Lainnya: sesuai pengaturan dari Kementerian Agama, dengan penerapan protokol kesehatan lebih ketat.
Pemerintah memang tidak melarang ibadah. Kecuali mengganti shalat Jumat dengan shalat dhuhur di rumah, dengan alasan tertentu. Tetapi menyatakan bahwa masjid ditutup sangatlah “sensitif” bagi banyak umat Islam. Sepatutnya, untuk menjaga keharmonisan hubungan pemerintah-masyarakat, dalam penentuannya, dilibatkan MUI dan sejumlah Ormas atau tokoh Islam. Tujuannya agar jangan sampai tujuan yang baik dari suatu kebijakan akhirnya justru dipahami sebagai Tindakan untuk merusak Islam.

Masing-masing agama punya konsep tempat ibadah yang berbeda. Hubungan umat Islam dengan masjid diatur oleh wahyu, didasarkan pada ketentuan al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Karena merupakan masalah sensitif, maka perlu sangat berhati-hati dalam membuat dan menyampaikan keputusan soal ibadah ini kepada umat Islam. Apalagi, di era pandemi ini, kita memerlukan doa-doa orang sholeh, agar kiranya Allah SWT sudi menghentikan musibah pandemi ini.
Karena itulah, dalam lapangan kenegaraan, Pak Natsir mengajukan konsep “theistic democracy”, yang diuraikannya: “Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah suatu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah saudara ketua orang hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat pula disebut “Theistic democracy.”
Sebenarnya konsep “theistic democracy” yang diajukan oleh Mohammad Natsir sudah tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, meskipun tidak secara tegas disebutkan. Bahwa, negara Indonesia saat ini adalah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, pada 16-21 Desember 1983 memutuskan, bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Di akhir pidatonya tahun 1957 itu, Pak Natsir mengingatkan bangsa Indonesia: “Dalam menghadapi pekerjaan kita yang menentukan perkembangan bangsa kita selanjutnya turun-temurun, kita sesungguhnya tak dapat melepaskan diri dari pokok persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam bad ke-20 ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi paling tinggi dalam sejarah manusia. Dalam kegiatan menaklukkan materi yang ada di sekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan… Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi.” (Lihat, Pidato lengkap M. Natsir di Majelis Konstituante yang dimuat dalam buku, M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam).

Di era pandemi yang semakin meningkat dalam beberapa hari terakhir ini, semoga kita dan para pemimpin kita bersedia merenungkan pemikiran solutif bagi bangsa kita, yag pernah disampaikan Pak Natsir. Aamiin. (Depok, 5 Juli 2021).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *