MEMAHAMI MAKNA AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH:120

MEMAHAMI MAKNA AL-QUR’AN SURAT AL-BAQARAH:120

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat

dewandakwahjatim.com – Dalam sebuah acara di pondok pesantren di Kawasan Bogor, seorang dosen di Perguruan Tinggi Islam mencoba membuat penafsiran baru tentang makna QS al-Baqarah ayat 120: “Kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha kepada kamu sampai kamu mengikuti agama mereka.”

Menurut sang dosen, pernyataan dalam ayat tersebut menggunakan kata ganti orang kedua tunggal (anta, kamu) yang mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad saw. Lebih jauh ia menyatakan: “Suasana historis yang melingkupi Nabi dalam kaitan dengan turunnya ayat ini adalah perseteruan beliau dan kaum muslimin di Medinah dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ini berarti bahwa ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu berlaku khusus untuk beliau dalam suasana perseteruan seperti itu. Kalau itu diperluas kepada kaum Muslimin, maka itu semestinya pada kaum Muslimin yang berada dalam suasana perseteruan seperti itu.”
Jadi, menurut dosen tersebut, penggunaan kata depan “lan” yang berarti “tidak akan”, tidak mesti berarti selama-lamanya. Pendapat semacam ini sudah beberapa kali muncul di tengah masyarakat.

Tentu saja, penafsiran semacam itu patut dipertanyakan kebenarannya. Sebab, kebencian Yahudi dan Nasrani bukanlah kepada pribadi Muhammad saw semata, tetapi lebih karena kebencian terhadap ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw yang secara terang-terangan memberikan kritik-kritik tajam terhadap agama Yahudi dan Kristen.

Ulama terkenal KH Bisri Musthafa, dalam tafsir berbahasa Jawa, Al-Ibriz, memberikan catatan terhadap ayat ini: “Makanya, kita umat Islam, khususnya para pemimpin harus berhati-hati. Kita sudah diajar oleh Allah, bahwa pendirian orang-orang Yahudi dan Nasrani, juga golongan-golongan yang tidak senang kepada Islam, kita harus senantiasa waspada. Jangan sampai kita menuruti kemauan golongan yang bertujuan merobohkan agama Islam.”
Dalam makalahnya, sang dosen juga menjelaskan tentang makna ‘kebenaran agama’. Ditulisnya: “Kebenaran agama memang merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi para pemeluknya, karena atas dasar itulah semua bangunan amal keagamaan dapat dibangun. Akan tetapi, sebahagian besar dari ajaran agama didasarkan pada keyakinan yang tidak dapat diperbandingkan untuk dicari satu yang “paling” benar. Memang, sebagaimana telah dibicarakan diatas, ada bagian-bagian tertentu dari ajaran agama yang dapat dikritik dengan menggunakan penalaran atau data-data kesejarahan dan sebagainya, tetapi tetap saja bagian utama dari agama adalah kepercayaan yang tidak dapat dicari mana yang “paling” benar. Dalam bahasa lain, itu adalah urusan Allah. Manusia tinggal menjalani apa yang diyakini sebagai kebenaran seraya membuktikan bahwa apa yang dilakukannya memberikan manfaat bagi sebanyak-banyak manusia dan lingkungannya.”
Penjelasan tentang “kebenaran agama” semacam itu jelas keliru. Sebab, manusia diperintahkan untuk memahami dan meyakini kebenaran. Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diterima oleh Allah SWT (QS Ali Imran:19 dan 85). Jika memang kebenaran merupakan urusan Tuhan, lalu untuk apa al-Quran diturunkan kepada umat manusia. Jika kebenaran hanya urusan Tuhan, lalu untuk apa, para Nabi diutus kepada manusia?


Pemahaman al-Quran dan kebenaran agama seperti yang diajarkan oleh sang dosen itu keliru dan berlebihan. Patut dikhawatirkan jika suatu ketika pola pikir seperti ini diterapkan dalam Tes Wawasan Kebangsaan. Orang yang mengakui hanya Islam yang benar akan dicap sebagai orang yang intoleran. Prof. Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil, sudah menyebut, bahwa salah satu kriteria agama jahat adalah keyakinan pemeluknya akan kebenaran agamanya sendiri secara mutlak.

Seperti kita ketahui, sejumlah pertanyaan dalam Tes Wawasan Kebangsaan yang diajukan kepada para karyawan KPK telah memicu kontroversi. Sebab, Tes itu kemudian berdampak pada tidak lulusnya 51 karyawan KPK, untuk diangkat sebagai ASN. Diantara materi pertanyaan adalah tentang sikap terhadap Perayaan Hari Besar agama lain, dan juga pertanyaan untuk memilih antara al-Quran dan Pancasila.

Umat Islam memiliki sikap teologis yang jelas terhadap agama-agama lain selain Islam. Dalam al-Quran ada surat al-Kafirun. Ada surat al-Bayyinah yang membagi kaum kafir menjadi dua: kafir ahlul kitab dan kafir musyrik. Ancaman hukuman bagi kaum kafir pun jelas, yaitu disiksa dalam Neraka selama-lamanya. Karena itu, kaum muslimin diperingatkan untuk sangat berhati-hati dalam menjaga keimanannya. Jangan sampai rusak oleh paham kemusyrikan.

Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)
Nabi Muhammad saw juga mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam.

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menegaskan perbedaan yang tajam antara orang yang beriman dan beramal shaleh, dengan orang-orang kafir. Surat al-Fatihah mengajarkan, agar kaum Muslim senantiasa berdoa supaya berada di jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim) dan bukan berada di jalan orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub) dan jalan orang-orang yang tersesat (al-dhaallin). Di dalam Islam, ada istilah-istilah baku dalam al-Quran, seperti muslim, mukmin, kafir, munafiq, dan sebagainya.

Umat Islam sudah dilatih untuk bersikap dewasa untuk selalu menghormati orang yang memiliki perbedaan keyakinan. Umat Islam harus berbuat baik kepada tetangganya, meskipun berbeda agama. Umat Islam telah melindungi kaum Yahudi selama 1200 tahun di Andalusia dan Turki Utsmani, meskipun dalam aspek teologis, al-Quran dengan tegas mengkritisi kepercayaan kaum Yahudi.
Karena itu, untuk membangun kerukunan antar-umat beragama, tidaklah perlu dilakukan dengan cara membuat penafsiran yang keliru terhadap al-Quran. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 20 Juni 2021).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *