Oleh M. Anwar Djaelani
(Ketua Bidang Pemikiran Islam Dewan Da’wah, Jatim dan Penulis Buku “Jejak Kisah Pengukir Sejarah”)
dewandakwahjatim.com – Bagi sebagian orang, sejarah adalah sesuatu yang tak menarik. Alasan mereka, karena hanya menyajikan berbagai peristiwa di masa lalu yang sama sekali tak terkait dengan persoalan masa kini dan apalagi dengan masa depan. Benarkah sikap menyepelekan sejarah itu?
Manusia dan Sejarah
Islam meminta kita memelajari sejarah (kisah atau peristiwa di masa lalu) untuk diambil hikmahnya. Al-Qur’an banyak mendorong agar kita pandai mengambil i’tibar atau pelajaran dari apapun yang kita lihat. Misal, ada perintah untuk mengadakan studi yang mendalam atas sejarah hidup Nabi Ibrahim As. “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (QS Asy-Syuaraa’ [26]: 69). Bahkan tak hanya kepada Ibrahim As, tapi juga kepada semua Rasul. “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam Surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS Huud [11]: 120)
Berdasarkan sejarah yang terbentang, tangkaplah pesan-pesan di dalamnya. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).
Ambillah pelajaran dari kisah-kisah sebagai orang atau kaum terdahulu dan jadikan sebagai pedoman berharga dalam menjalani hidup ini. Bahwa, “hukum sejarah” tak akan pernah berubah, yaitu: Seseorang atau suatu kaum layak menjadi jaya atau-sebaliknya-patut menuai kalah tergantung kepada orang atau kaum itu sendiri. Akan jaya jika bisa menyediakan syarat-syarat untuk jaya dan akan kalah jika memilih berbagai kondisi yang akan memuluskan proses kekalahan. Itulah sunnatullah yang tak akan berubah. “Yang demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Al-Anfaal [8]: 53).
Jika ingin jaya (bahagia), bertaqwalah kepada Allah. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS Al-A’raf [7]: 96). Kecuali itu, ada petunjuk yang lebih khusus agar kita jaya, yaitu: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali ‘Imraan [3]: 110). Maka, sebagaimana ayat di atas, kita akan menjadi umat yang terbaik jika memenuhi syarat: Beriman kepada Allah, aktif mencegah yang munkar, dan istiqomah berdakwah menyeru kepada yang ma’ruf.
Berlawanan dari hal di atas, jika mengingini celaka, maka tinggalkanlah ajaran Allah (misal; meninggalkan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, cinta dunia, antarmuslim saling melemahkan, sombong, dan lain-lain yang serupa dengan itu). Sabda Nabi Saw: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah (HR Al-Hakim dan Tirmidzi).
Cermatilah cerita kejatuhan banyak orang atau kaum di berbagai penjuru dunia. Kaum ‘Aad dihancurkan karena takabbur yaitu merasa paling berkuasa (paling kuat) dan mereka berkata: “Siapa yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (baca QS Fushshilat [41]: 15). Juga, lihatlah kisah kehancuran Fir’aun, Namrudz, dan sebagainya.
Pernah di masa Rasulullah Muhammad Saw, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat daripada kaum kafir menjadi sombong–dan oleh karena itu menjadi lengah-sehingga hampir saja dikalahkan dalam Perang Hunain. “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah-(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai” (QS At-Taubah [9]: 25).
Lalu cermatilah peradaban Islam di Spanyol yang sangat agung selama 800 tahun (711-1492), pada akhirnya tumbang. Itu terjadi karena perpecahan antarsuku atau ada yang bekerjasama dengan kekuatan musuh untuk menghancurkan kekuatan Muslim lainnya. Begitu juga, sejarah kejatuhan Palestina ke Yahudi-Zionis adalah contoh tentang bagaimana kaum minoritas dapat mengalahkan kaum Muslim yang sangat besar jumlahnya.
Sebab-sebab kejayaan atau kejatuhan seseorang / kaum tak akan pernah berubah esensinya.
Sebab dan akibat itu adalah “hukum sejarah”, yang bagi orang beriman bisa berfungsi sebagai cermin. “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2]: 66).
Bergurulah ke sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, sebab sejarah akan selalu berulang. Jangan seperti katak dalam tempurung, tapi tebarlah pandangan ke sekitar. “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu” (QS Al-An’aam [6]: 11).
Kita berstatus sebagai khalifah di muka bumi (QS Al-Baqarah [2]: 30). Lalu, sebagai kaum beriman, kita diminta untuk merancang kehidupan yang baik di masa kini dan di masa depan. Maka, salah satu modal terbaik untuk itu adalah selalu menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Jangan “Buta”!
Dengan demikian, mengingat tak seorangpun yang tahu berbagai peristiwa di masa depan, maka kita harus berusaha menjadi aktor sejarah yang baik. Agar bisa menjadi aktor sejarah yang baik (berkualifikasi sebagai umat yang terbaik) maka selalulah sadar bahwa Allah telah mengingatkan kita: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shalih dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran” (QS Al-Mu’min (40]: 58). Semoga kita tak termasuk yang buta sejarah.
Sudono Syueb/ed