Oleh: Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII
dewandakwahjatim.com – Suatu ketika, seorang cendekiawan muslim di Indonesia menulis sebuah artikel Harian Republika (2/11/2004). Sang cendekiawan mengaku, bahwa ia didatangi oleh beberapa pejabat tinggi dari negara-negara asing. Para pejabat itu menyampaikan kekhawatiran akan kebangkitan “Islam politik”, “Islam fundamentalis”, atau “Islam radikal”.
Cerita itu masih perlu kita pikirkan dengan serius. Sebab, isu tentang “ancaman Islam” (Islamic Threat) di kalangan tertentu masih terus bercokol. Meskipun umat Islam secara umum masih dalam kondisi memprihatinkan, tetapi faktanya, ketakutan terhadap Islam (Islamofobia) masih saja disuarakan.
Akar-akar ketakutan terhadap Islam memang memiliki akar yang mendalam. Edward Gibbon, misalnya, dalam buku terkenalnya, The Decline and Fall of The Roman Empire, (New York: The Modern Library, 1974, III:56) membuat mitos populer tentang ancaman Islam, bahwa Nabi Muhammad – dengan masing-masing tangannya memegang al-Quran dan pedang mendirikan kekuasaannya di atas reruntuhan Kristen. (Mohammed, with the sword in one hand and the Koran in the other, erected his throne on the ruins of Christianity and of Rome).
Buku John L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality, (New York: Oxford University Press, 1993), menggambarkan fenomena ketakutan itu di kalangan masyarakat Barat dan peranan para penguasa (politik, media massa) dalam menyebarkan ketakutan itu. Dalam sejarahnya yang panjang, mitos tentang ancaman Islam di kalangan masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel dalam buku klasiknya,Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford:Oneworld Publications, 1997).
David R. Blank, dalam sebuah tulisannya berjudul “Western Views of Islam in the Premodern Period” mencatat bahwa meskipun secara keseluruhan tidak ada bukti kuat antara sikap “prejudis” terhadap Islam antara zaman pra-modern dengan zaman modern, namun ada garis-garis pemikiran tertentu yang terus berlanjut, yang mencitrakan Islam sebagai “kafir raksasa” (gigantic heresy), seperti garis pemikiran Peter the Venerable – Raymund Lull-Martin Luther—Samuel Zwemmer.
Zwemmer adalah misionaris Kristen terkenal untuk dunia Islam. Martin Luther, sebagaimana banyak pendeta Kristen di zaman Pertangahan dan awal Eropa modern, percaya bahwa kaum Muslim (yang disebut dengan istilah “Turks”) adalah masyarakat yang dikutuk oleh Tuhan (The Turks are the people of the wrath of God). (Lihat, David R. Blanks, and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999).
Paus Urbanus II, ketika memprovokasi terjadinya Perang Salib tahun 1095, juga menyatakan, bahwa kaum Muslim adalah monster jahat yang tidak bertuhan. Membunuh makhluk semacam itu merupakan tindakan suci dan kewajiban kaum Kristen. (Killing these godless monsters was a holy act).
Patutkah Islam ditakuti dan dikhawatirkan kebangkitannya? Jelas-jelas kaum Muslim saat ini dalam kondisi lemah, dan terus-menerus berusaha dilemahkan. Terlepas dari nada peyoratif pada beberapa bagiannya, buku What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002), karya orientalis Yahudi Bernard Lewis memuat banyak data menarik tentang kondisi Islam di masa lalu dan kini. Lewis mengakui keagungan Islam di masa lalu. Ia misalnya mencatat, bahwa selama beberapa abad Islam merupakan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di muka bumi.
Tetapi, menurut Bernard Lewis, pada abad ke-20, ada yang salah pada dunia Islam. Dibandingkan dengan rivalnya, Dunia Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, lemah, dan bodoh. Sejak abad ke-19, dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak jelas. Barat mengivasi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya pada aspek publik, tetapi – yang lebih menyakitkan – juga dalam aspek-aspek pribadi.
Bagaimana menghadapi kaum yang “paranoid” terhadap Islam semacam ini? Pada satu sisi, paranoia terhadap Islam itu menunjukkan, bahwa memang Islam – bagaimana pun kondisinya – tidak dipandang sebelah mata. Kaum Muslim tetap diperhitungkan, meskipun sedang dalam kondisi lemah.
Tetapi, apa pun pandangan orang asing terhadap Muslim Indonesia, sudah sepatutnya, kaum Muslim Indonesia melakukan instrospeksi atas kondisinya dan menyusun langkah kebangkitannya sendiri. Itu dilakukan dengan terus membuka ruang dialog dengan berbagai peradaban lainnya. Semoga Allah melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia. Amin. (Sudono/red)
(Semarang, 12 April 2021).