Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
(Anggota Bidang Pemikiran lslam)
dewandakwahjatim.com – Moderasi beragama saat ini sedang disosialisasikan sebagai sikap beragama yang harus ditunjukkan oleh umat Islam. Hal ini untuk menghilangkan stigma radikal dalam diri umat Islam. Kalau Said Aqil Siraj (SAS) menuduh Wahabi sebagai ancaman negara karena sebagai penanam benih terorisme, maka negara harus menghabisi Wahabi. Bahkan ketua PBNU itu mengusulkan agar pelajaran agama ditekankan pada akhlakul karimah dan mengurangi porsi pelajaran aqidah dan syariah. Sementara Yaqut Cholis Qoumas juga menampilkan sikap moderasi beragama dengan mulai mengakui eksistensi aliran agama, yang selama ini dianggap menyimpang, dengan mengucapkan merayakan hari rayanya. Bahkan Menteri agama mengusulkan agar ada acara doa dari semua agama di setiap acara Kementerian agama. Dua sikap di atas, diakui atau tidak, mengganggu prinsip-prinsip dalam beragama, dan umat Islam dipandang jauh dari sikap yang ramah terhadap agama lain.
Deradikalisasi dan Dewahabisasi
Umat Islam kembali memiliki pekerjaan besar. Pertama, ancaman ideologi bangsa. Kedua, tidak toleran. Dua hal inilah yang kemudian memunculkan kritik yang disampaikan oleh dua tokoh, yakni ketua PBNU, dan Menteri agama. Kalau Said Aqil Siraj (SAS) melontarkan gagasan bahwa terorisme tidak lain disebabkan oleh paham Wahabi sebagai pintu masuk, dan dia menegaskan bahwa bila ingin memberantas terorisme, maka harus menghabisi Wahabi.
Aplikasi dalam menghabisi Wahabi dengan cara mengurangi porsi tauhid dan Syariah dalam belajar agama, dan menambah porsi pelajaran akhlaqul karimah. Dia berpandangan bahwa penekanan pada tauhid dan syariah akan melahirkan sikap radikal. Hal ini bisa dilihat ketika membahas tauhid dan syariah akan keluar terminologi kafir-musyrik, surga-neraka, syirik-bid’ah dan sejenisnya.
Dengan terminologi itu, maka umat Islam akan bersikap radikal dan jauh dari sikap moderat kepada orang yang beragama lain. Dengan menekankan dan menambah porsi akhlaqul karimah, maka akan terbangun sikap yang lebih toleran. Membahas tentang tolong menolong, peduli, dan berbagi kepada orang lain akan membuat umat Islam jauh dari sikap radikal.
Apa yang disampaikan oleh SAS ini sepintas lalu baik, dan bagus dari satu sisi. Namun dari sisi pesan kenabian, maka jauh dari risalah yang diemban oleh para nabii dan rasul. Bukankah Nabi dan rasul menunjukkan akhlaqul karimah, tetapi masyarakatnya tetap tidak mau menerima ajakannya. Inti penolakan dari masyarakat terhadap risalah kenabian disebabkan oleh penyampaian tauhid itu.
Nabi dan rasul menyampaikan risakah utama dengan basis tauhid yang kuat, dan membentengi umatnya dari bahaya perbuatan musyrik. Bukankah dosa terbesar dan tak terampuni karena perbuatan penyembahan kepada selain Allah. Bukankah perlawanan terbesar yang dialami oleh para nabi dan rasul karena menyampaikan dakwah tauhid.
Kalau risalah kenabian, berupa muatan tauhid dan mengedepankan akhlaqul karimah, tentu tidak ada lagi perlawanan dari kaumnya. Terlebih dalam tradisi masyarakat Arab, terdapat budaya yang berakhlaq tinggi, seperti membantu orang yang teraniaya, menghormati tamu, atau memberi makan kepada orang lain. Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang lain pun memiliki akhlak yang tinggi, namun ketika disampaikan risalah tauhid dan penyembahan kepada Allah saja,maka umatnya sepakt dan bersatu mengadakan perlawanan.
Oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh SAS jelas menyalahi sejarah dan menyelisihi dari apa yang dialami oleh para nabi dan rasul. Bahkan SAS bisa dikatakan ingin menghilangkan hakekat risalah kenabian yang dibebankan Allah, yakni mentauhidkan Allah dan membiarkan masyarakat terperosok ke dalam budaya yang menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Toleransi dan Liberalisasi Beragama
Apa yang disampaikan oleh Menteri agama, Yaqut Cholis Qoumas yang meminta kepada jajarannya di Kementerian agama untuk mengadakan pembacaan doa dari semua agama, juga menimbulkan problem bagi umat Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa Yaqut meminta jajarannya di Kemenag agar digelar doa dari semua agama, sehingga tidak ada kesan Kemenag dikuasai oleh Islam saja. Karena Kemenag terdiri dari semua agama. Hal ini disampaiakan Menag dalam rapat kerja nasional (Rakernas) Kemenag (Senin, 5/4/2021).
Yaqut beralasan bahwa jangan ada kesan sedang rapat ormas Islam kemenag sementara di dalamnya bukan hanya urusan agama Islam saja. Semua agama yang jadi urusan di Kemenag sama-sama menyampaikan doanya. Semakin banyak yang doa, probalilitas untuk dikabulkan semakin tinggi. Kemenag harus memberi contoh moderasi beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Apa yang disampaikan Yaqut seolah benar, namun ketika didalami akan banyak mengandung kontradiksi. Pertama, merendahkan agamanya. Kedua, menyalahi prinsip perbedaan
Ketika doa disampaikan secara bersama maka dia mengakui semua agama benar. Bukankah Allah menunjukkan bahwa Islam sebagai agama paling benar. Islam sangat meneguhkan dan menjunjung tinggi Islam sebagai agama yang membawa petunjuk kebenaran. Bukankah firman Allah menegaskan hal itu sebagaimana firman-Nya :
‘Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya” (QS. Ali Imran : 19)
Apa yang dilakukan Yaqut jelas mengganggu prinsip-prinsip dalam beragama. Masing-masing agama memiliki prinsip bahwa agamanya yang paling benar. Dan hal itu selama ini berlaku di masing-masing wilayah agama, dan tidak ada perdebatan karena hanya urusan internal. Belum lagi, masing-masing agama memiliki persepsi dan narasi yang berbeda-beda dalam menggambarkan Tuhan mereka. Bukankah Tuhannya umat Islam berbeda dengan Tuhan yang digambarkan oleh orang Nasrani. Demikian pula, sifat Tuhan yang dipersepsikan Yahudi berbeda dengan sifat Tuhan yang diyakini oleh umat Islam.
Surabaya, 7 April 2021