KH. Fathur Rohman
(Ketua Umum DDII Jatim dan Mudir Ma’had eLKISI, Trawas-Mojokerto)
dewandakwahjatim.com – Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’uun, itulah kalimat yang terucap dari lisan ketika mendengar berita meninggalnya bapak H. Tamat Anshari Isma’il.
Berita wafat beliau itu saya terima pada pukul 12.00 wib pada saat saya dan rombongan eLKISI berada di Pemalang Jawa Tengah. Bagi saya, banyak hal yang saya dapatkan dari beliau yang terkait dengan perjuangan dan hal ikhwal kehidupan ini.
Kedekatan beliau terhadap ummat tidak perlu disangsikan lagi. Seakan telah menjadi bagian dari hidup beliau untuk menyapa ummat, tanpa memandang status sosialnya. Apalagi terhadap para aktivis dakwah. Bahkan tatkala beliau tergeletak lemas karena sakit yang dideritanya, beliau masih sempatkan diri menanyakan terkait aktifitas dakwah di beberapa lembaga yang beliau terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pesan Perjuangan
Beliau dengan caranya memberikan pesan-pesan khusus kepada para aktifis dakwah, termasuk kepada saya. Pada pagi hari sekitar tahun 1992-an, tepatnya di samping masjid Al Hilal Surabaya, sambil menunggu bapak-bapak pengurus Dewan Dakwah Jawa Timur untuk sebuah acara di Malang, beliau menuturkan peristiwa yang pernah beliau alami. Suatu hari ketika beliau sedang dalam aktifitas keummatan di luar kota, tiba-tiba ada telpon dari istri beliau mengkhabarkan keadaan salah seorang putra beliau yang sedang sakit. Lalu beliau menjawab,”Aku kalau pulang dia sembuh nggak?” Maka dijawab oleh istri beliau,”Ya tidak tahu Yah?”. “Kalau gitu bawa ke rumah sakit, kalau urusan ummat ini selesai saya akan segera pulang,” Saut beliau.
Beliau tidak banyak memberikan penjelasan setelah bercerita itu, tetapi sebagai seorang aktifis saya berusaha memaknai cerita beliau sebagai suatu nasehat atau pesan perjuangan bagi kader-kader beliau. Adapun pelajaran yang sangat berharga yang dapat saya ambil sebagai aktifis dakwah adalah bahwa sebagai istri seorang aktifis dakwah harus faham betul dengan posisi suaminya yang mempunyai tugas dan tanggung jawab bukan hanya kepada keluarganya tetapi juga kepada ummat. Maka seyogyanya para istri aktifis mendukung suaminya untuk tidak pernah berhenti mengurusi ummat.
Para aktifis dakwah harus berjuang untuk menanamkan nilai-nilai juang kepada istri dan anak-anaknya sehingga mereka akan menjadi penyokong aktifitas dakwahnya. Karena banyak da’i yang tidak bisa optimal dalam perjuangannya karena kendala istri dan anak. Mereka bukan mendukung aktifitas dakwah suami tetapi justru menjadi penghambat bagi suami dalam menjalankan tugas dakwah. Dan pak Tamat Anshary Ismail sudah memberikan contoh kongkrit terkait persoalan ini. Bagi seorang pak Tamat, para da’i perlu mendapatkan pesan-pesan perjuangan seperti itu karena beliau sendiri merasakan betapa berat medan dakwah yang dihadapi oleh para aktifis dakwah.
Sekali lagi, itu pelajaran yang tak terlupakan bahkan senantiasa saya ceritakan kepada kawan-kawan sesama aktifis. Subhaanalloh saya melihat istri beliau, mbak Noer dan putra-putri beliau adalah orang-orang yang sangat mendukung perjuangan beliau, ayahanda bapak H. Tamat Anshari Ismail.
Tidak biasa Melupakan!
Mengenang pak Tamat menjadi terkenang dengan bapak-bapak Masyumi. Dr. H. Anwar Haryono, SH Allohu yarham, mantan ketua umum Dewan Dakwah Pusat ketika beliau tergeletak sakit di Rumah Sakit Haji Pondok Gede Jakarta beliau masih sempat minta kepada istri beliau untuk ditelphonkan seorang da’i di pedalaman. Setelah beliau mendiktekan nomor telphon lalu beliau berbicara kepada sang da’I dan bertanya bagaimana aktifitas da’I di medan dakwah dan bagaimana keadaan ummat di daerah tersebut. Saya yang kala itu berdiri di samping beliau dalam hati berkata,”Subhaanalloh, beginilah seorang pejuang walau dalam keadaan sakit yang dipikirkan masih wilayah perjuangan.” Demikian juga pak Tamat Anshari, beliau selalu bertanya tentang keadaan ummat di mana kita biasa berkumpul bersama mereka.
Walau beliau sudah tahu aktifitas saya hingga saat ini, pak Tamat masih tidak lupa untuk bertanya tentang keadaan pondok Al Fattah Gesing Buduran Sidoarjo. “Gimana Al Fattah Hur? Cak Dul Ghoni ( Ust. Abdul Ghani, Allohu yarham) piye? Putra-putranya pak Yai Broto (KH. Ahmad Subroto, pendiri dan pengasuh Al Fattah) gimana?” Itulah pak Tamat Anshary. Beliau selalu memikirkan dan berusaha untuk mengetahui keadaan pundi-pundi perjuangan ummat. Beliau sangat faham tentang saya, ustadz Abdul Ghani (Allahu yarham) dan KH. Ahmad Subroto (Allohu yarham). Saya yang diminta untuk menjadi da’I Dewan Dakwah (tahun 1990) adalah murid Ustadz Abdul Ghani dan KH. Ahmad Subroto.
Beliau Bangga!
Terhadap Pondok Pesantren Islamic Center eLKISI Mojokerto, beliau sangat bangga dan bersykur dengan keberadaan pondok ini. Di banyak forum beliau selalu sampaikan tentang pondok eLKISI kepada orang-orang yang ada di sisi beliau baik saat acara santai maupun acara resmi. Pada saat awal menggagas pondok, saya dan teman-teman terfikirkan untuk membangun pondok lansia. Maka proses pencarian lahan saya lakukan mulai dari lereng timur gunung penanggungan, Malang, lereng gunung Penanggungan sebelah barat (Seloliman Trawas). Siteplan pun akhirnya dibikinkan oleh Ir. Khusnan Rosyadi keponakan pak Tamat. Tetapi rencana membangun pesantren di Seloliman Trawas gagal dilaksanakan karena beberapa alasan. Alhamdulillah akhirnya Allah memindahkan lokasi pondok ke dusun Kemuning Mojorejo Pungging sebelah barat dusun Mojodadi Purworejo Pungging.
Pembangunan pondok dimulai (20 Januari 2010) dan Alhamdulillah dalam waktu empat puluh lima hari pembangunan selesai.
Pada suatu hari saya bertemu dengan beliau di Surabaya untuk bersilaturrahim. Pada kesempatan itu beliau bertanya terkait dengan rencana pendirian pondok. Maka saya sampaikan niat saya dan kawan-kawan untuk membangun pondok lansia. Lalu beliau sampaikan,”Saya bangga sampean dan teman-teman berencana membangun pesantren. Tetapi kalau yang digarap lansia, terus untuk kaderisasinya gimana?” Saya jadi teringat perkataan beliau kepada saya setelah saya tidak lagi bertugas dakwah di Banyuwangi. Beliau pernah bilang,”Hur, dulu zamanmu kalau kita butuh da’i datang di pesantren-pesantren minta untuk dikirim seorang santri atau alumni santri untuk menjadi da’i, tidak sulit. Pak Kyai langsung kirim santri untuk ditraining menjadi da’i. Sekarang, susah kita mencari da’i.” Maka sepulang dari pertemuan dengan beliau, teman-teman saya kumpulkan untuk menyampaikan pesan pak Tamat tersebut. Maka tanpa berfikir panjang teman-teman sepakat bahwa rencana pendirian pondok lansia tetap dilanjutkan sedangkan proses kaderisasi da’I juga akan digarap. Alhamdulillah akhirnya jadilah Pondok Pesantren Islamic Center eLKISI sebagaimana yang ada sekarang ini. Karenanya beliau sangat bangga dengan keberadaan pondok ini. Hampir setiap acara Silatnas beliau menyempatkan diri untuk hadir. Bahkan acara Musyda Dewan Dakwah Jawa Timur-pun beliau memilih eLKISI sebagai tempat acara. Insya Allah eLKISI akan berjuang untuk menjawab kekhawatiran pak Tamat akan krisisnya semangat santri untuk menjadi da’i.
Bagi saya beliau adalah guru dan orang tua saya yang tidak pernah bosan menyemangati dan menasehati saya dalam perjuangan ini. Semoga kebaikan yang beliau lakukan menjadi jariyah bagi beliau.
Selamat jalan Ayahanda dan Gurunda, bapak H. Tamat Anshari Ismail. Do’a saya senantiasa menyertai Engkau walau saya merasa sedih ketika Engkau berpulang saya tidak ada di samping Engkau. Semoga rohmat dan maghfirah Alloh senantiasa menyertai Engkau.(sudono & Akbar/ed)
KH Fathur Rohman
Ketua Umum DDII Jatim dan Mudir Ma’had Elkisi, Trawas-Mojokerto)