Oleh: Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat
(www.adianhusaini.id)
dewandakwahjatim.com – Pada hari Senin (29/3/2021), saya mendapat undangan dari Sekolah Tinggi Ilmu al-Quran (STIQ Zad, Cianjur, Jawa Barat, untuk mengisi Seminar Nasional bertajuk: “Tantangan Liberalisme di Perguruan Tinggi”. Seperti dalam berbagai seminar sebelumnya, saya menganjurkan peserta seminar untuk membaca sejumlah buku yang sudah saya tulis.
Dalam hal pemahaman terhadap liberalisme, saya menganjurkan setidaknya membaca tiga buku: (1) Wajah Peradaban Barat, (2) Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, dan (3) Trilogi Novel Kemi. Untuk menangkal virus liberalisme secara komprehensif, silakan membaca buku: 10 Kuliah Agama Islam.
Pada tahap awal, untuk memahami liberalisme, saya menganjurkan untuk membaca Trilogi Novel Kemi. Ini karya fiksi. “Kemi” yang pertama diluncurkan 11 tahun lalu, pada hari Sabtu, 9 Oktober 2010, di arena Indonesia Book Fair, Senayan Jakarta. Judulnya: “Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat” (Jakarta: GIP, 2010).
Penulisan novel ini dipicu oleh tayangan film berjudul “Perempuan Berkalung Sorban” di sebuah televisi swasta. Film itu, menurut saya, memberikan gambaran yang tidak benar terhadap kehidupan pesantren, khususnya figur Kyai Pesantren. Karena itulah, saya terdorong untuk menulis karya fiksi yang mengungkap gambaran ideal tentang kehidupan pesantren. Melalui cerita fiksi, saya lebih mudah menggambarkan kehidupan dan pemikiran para aktivis liberal dalam dunia fiksi.
Jadi, Novel Kemi ini memang saya tulis dengan tujuan untuk memudahkan kaum Muslim Indonesia – khususnya para pelajar dan mahasiswa — untuk memahami pemikiran-pemikiran liberal dan bagaimana kiat menanggulanginya. Hingga kini, penyebaran ide-ide liberal terus dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya melalui penulisan novel, sinetron, dan film.
Novel ini sarat dengan pergulatan pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal. Novel ini berkisah tentang dua orang santri cerdas yang berpisah jalan. Kemi (Ahmad Sukaimi), santri pertama, terjebak dalam paham liberalisme. Ia mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.
Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran-pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali Kemi ke pesantren. Meskipun misi utamanya gagal, Rahmat berhasil “mengobrak-abrik” jaringan liberal yang membelit Kemi. Sejumlah aktivis dan tokoh liberal ditaklukkannya dalam diskusi.
Di dalam novel ini ada cerita Prof. Malikan, rektor Institut Studi Lintas Agama, tempat Rahmat dan Kemi kuliah. Prof. Malikan ditaklukkan Rahmat di ruang kelas. Siti (Murtafiah), seorang aktivis kesetaraan gender, putri kyai terkenal di Banten, terpesona oleh kesalehan, kecerdasan, dan ketampanan Rahmat.
Siti akhirnya sadar dan bertobat, kembali ke orang tua dan pesantrennya, setelah bertahun-tahun bergelimang dengan pikiran dan aktivitas liberal. Rahmat juga berhasil menyadarkan Kyai Dulpikir, seorang Kyai liberal terkenal di Jawa Barat. Sebelum wafat, Sang Kyai sempat bertobat dan wafat di ruang seminar.
Salah satu kisah menarik dalam Novel Kemi (1) adalah pengakuan Siti, setelah dia tersadar dari kekeliruan paham liberal dan kesetaraan gender yang selama ini dia peluk dan dia perjuangkan. Siti mengaku telah terjerat berbagai pemikiran salah, secara perlahan-lahan. Ia sadar setelah bertemu Rahmat. Ia kemudian menyesal dan berjanji akan bertobat. Siti terpesona oleh sikap dan pemikiran Rahmat, santri kampung yang cerdas dan shalih.
Kepada Rahmat, Siti mencurahkan pengakuannya tentang kekeliruan pemikiran-pemikiran liberal yang digandrunginya selama ini: ”Bayangkan Rahmat, saya ini wanita, perempuan. Sampai karena sudah begitu merasuknya paham kesetaraan gender dalam diriku, saya tidak lagi mengakui laki-laki berhak memimpin rumah tangga. Saya benci jika dikasihani. Pernah saya naik bus, ada seorang laki-laki memberikan tempat duduknya karena kasihan saya berdiri, saya bentak dia. Saya mau suami saya yang nanti melayani saya, menyediakan minum buat saya, mengasuh anak saya, dan kalau perlu membawakan tas saya. Entah kenapa di kepala saya tertenam kebencian dan dendam kepada laki-laki, karena mereka telah menindas kaum saya selama umur manusia… Saya sering tak sadar menghujat-hujat Islam sendiri, memaki-maki umat Islam sendiri.
Semua itu berjalan begitu saja tanpa bisa saya hindari. Saya sudah terjerat; terjerat oleh pikiran saya sendiri, terjerat oleh lidah saya sendiri! Saya sadar, saya geram, karena tidak berdaya untuk melepaskan diri dari semua keterjeratan ini… Saya tidak mampu… Padahal, di depan laki-laki saya selalu mencoba tampil perkasa, saya tidak mau dipandang rendah. Tapi, kenyataannya, saya tidak berdaya melawan pikiran saya sendiri…”.
Demikianlah sebagian pengakuan dan pertobatan Siti, seorang aktivis gender, kepada Rahmat. Siti akhirnya diracun oleh sindikat yang menjeratnya, karena dianggap berkhianat. Beruntung, dia masih bisa diselamatkan. Di akhir cerita, Siti membuktikan kesungguhannya untuk bertobat. Ia bahkan mengorbankan rasa cintanya pada Rahmat dan memilih berjuang membesarkan pesantren ayahnya. Ia lebih mengedepankan aktivitas dakwah dan pendidikan Islam.
Pada novel Kemi kedua, pembaca akan menjumpai dialog-dialog ringan antar berbagai pelakunya. Rahmat sudah berkolaborasi dengan Habib Marzuki yang cerdas, berani, dan kocak dalam membongkar jaringan liberalisme di Indonesia. Setelah dihajar oleh jaringan liberal sampai gegar otak, Kemi akhirnya dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Namun, sindikat liberal berhasil ”menculiknya.” Kemi kedua ini berkisah tentang pencarian keberadaan Kemi oleh Rahmat dan kawan-kawan.
Trilogi Novel Kemi diakhiri dengan kematian Kemi. Jaringan liberal pun akhirnya harus melepas Kemi kepada keluarganya. Meskipun dokter dan keluarganya sudah berusaha menyelematkan Kemi, tetapi akhirnya Kemi ditemukan tewas secara misterius di sebuah kamar tempat persembunyiannya.
VUpaya Kemi untuk bertobat sudah terlambat. Ia menjadi ’tumbal liberalisme’. Meskipun ini cerita fiksi, semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga. Kemi – santri cerdas yang terjebak ke dalam jaringan liberalisme – tanpa sadar terjerat ke dalam jaringan liberalisme yang kejam. Kesenangan duniawi hanya sesaat ia nikmati. Syukurlah, ia masih sempat bertobat.
Dalam perjalanan penulisan Tiga seri Novel ini, banyak pembaca menyampaikan aspirasi, agar Rahmat dikawinkan dengan Siti. Akhirnya, saya pun memenuhi aspirasi pembaca tersebut. Akhirul kalam, silakan membaca dan membaca lagi Novel Kemi ini. InsyaAllah akan ada ”Kemi” berikutnya. Mohon doanya! (Sudono Syueb/ed)
(Depok, 30 Maret 2021).
Dapatkan artikel-artikel lainnya di:
https://adianhusaini.id/category/artikel-terbaru
Pojok 1000 Artikel Pilihan: Wujudkan Komunitas Cerdas dan Bijak
Bantu share
Info berlangganan,
Kirim via WA/Telegram/Signal/BIP ke 0858 8293 0492
ketik: Daftar
Atau akses langsung ke: http://member.adianhusaini.id/register