M. Natsir Gigih Memerjuangkan Islam sebagai Dasar Negara

M. Natsir Gigih Memerjuangkan Islam sebagai Dasar Negara

Oleh M. Anwar Djaelani,
penulis buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah” dan “Jejak Kisah Pengukir Sejarah”   

   dewandakwahjatim.com - “Satu-satunya yang diperlukan yang bathil untuk maju mencapai kemenangannya adalah asal saja yang haq tinggal diam, tak berbuat apa-apa”. Itu, adalah kata-kata M. Natsir. Ungkapan tersebut sangat bisa menggambarkan siapa sejatinya M. Natsir, sang da’i, pendidik, pemikir, pejuang, dan negarawan itu. 
Pendakwah Komplit 
  
   M. Natsir adalah tokoh yang teguh dalam memerjuangkan dan sekaligus memertahankan kebenaran Islam. Buku “Islam sebagai Dasar Negara” menghimpun pidato M. Natsir, termasuk pidatonya pada sidang pleno Konstituante pada 12/11/1957. Di pidato itu M. Natsir dengan brilian menyampaikan hujjah-hujjahnya mengenai Islam sebagai Dasar Negara.

   Memang, bahwa Islam harus “dibawa” ke negara tampak menjadi inti perjuangan M. Natsir. Lihatlah, saat berbicara tentang “Arti Agama dalam Negara”. M. Natsir menyatakan bahwa untuk menjaga supaya aturan Allah dan Rasul-Nya dapat “Berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan dalam negara” (M. Natsir, 2000: 4).

   Lebih jauh, kata M. Natsir, “Yang menjadi tujuan ialah kesempurnaan berlakunya Undang-Undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan peri-kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota dari masyarakat, baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di alam baka” (M. Natsir, 2000: 11).

   Siapa M. Natsir? Dia lahir di Alahan Panjang - Sumatera Barat, pada 17/07/1908. Predikatnya banyak: Muballigh, pendidik, intelektual/pemikir, dan politisi. Ketokohannya tak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam.

   M. Natsir adalah intelektual yang kedalaman ilmunya membuahkan penghargaan. Pada 1967 Universitas Islam Libanon memberinya gelar Doctor Honoris Causa bidang politik Islam. Pada 1991, gelar yang sama dianugerahkan Universiti Kebangsaan Malaysia.

   Pada 1980, M. Natsir menerima penghargaan internasional-Jaa-izatul Malik Faisal Al-Alamiyah-atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah pula diberikan kepada ulama besar India, Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la Al-Maududi. Oleh karena itulah, hingga akhir hayatnya-tahun 1993-, M. Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami. 

   M. Natsir pernah menjadi Perdana Menteri RI pertama, 1950-1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa M. Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini sangat besar. Pada 03/04/1950, sebagai anggota parlemen, M. Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. M. Natsir juga berulang kali duduk sebagai menteri di sejumlah kabinet.

   M. Natsir adalah pribadi yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Saat di SMA, di samping belajar sungguh-sungguh di sekolah umum, 

   M. Natsir terus mendalami agama. Dia gemar membaca buku. Hal itu mendorongnya untuk menjadi anggota perpustakaan dengan bayaran tiga rupiah sebulan. Setiap ada buku baru yang datang, 
   M. Natsir selalu mendapat kiriman dari perpustakaan. Ada kesaksian bahwa hingga menjelang akhir hayatnya, M. Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Qur’an, yaitu Tafsir Fii Zilalil Qur’an, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan.

   Kemampuan menulis adalah kelebihan M. Natsir yang lain. Lewat kecakapannya itulah, pemikiran M. Natsir bisa lebih mudah tersebar luas. Dalam pandangan Dr. Adian Husaini, M. Natsir memang bukan sekadar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam (www.hidayatullah.com 19/11/2007).

   M. Natsir menulis lebih dari 35 judul buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) adalah salah satu karyanya yang sangat menonjol dan berpengaruh. Sebagian buku-buku M. Natsir telah diterbitkan dalam bahasa Arab. Kecuali dalam bentuk buku, banyak materi ceramah dan makalah M. Natsir yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat (www.dunia.pelajar-islam.or.id). 

   Capita Selecta adalah karya M. Natsir yang termasuk paling mudah diingat. Tapi, kata Anwar Ibrahim-salah seorang tokoh Malaysia-, “Tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia ialah Fiqhud Dakwah. Saya selaku Presiden ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia, pen.) ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi kami. Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dakwahnya bersifat moderat dan berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi organisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana” (www.majalah.tempointeraktif.com 14/07/2008).

   Pada November 2008, Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan Pemerintah Indonesia kepada (almarhum) M. Natsir. Gelar itu wajar diterimanya, mengingat jasa-jasanya yang luar biasa kepada negeri ini.

   M. Natsir adalah model pemimpin yang tak henti memikirkan nasib umat Islam. Lihatlah kesaksian HAMKA. Pada 13/11/1957, sehari setelah M. Natsir menyampaikan pidato di Konstituante yang sebagian telah diungkap di atas, HAMKA menulis puisi berjudul “Kepada Saudaraku, M. Natsir”. Petikannnya sebagai berikut: 

  “Meskipun bersilang keris di leher/ Berkilat pedang di hadapan matamu/ Namun yang benar kau sebut juga benar/. ….. Jibril berdiri sebelah kananmu/ Mikail berdiri sebelah kiri/ Lindungan Ilahi memberimu tenaga/ Suka dan duka kita hadapi/ Suaramu wahai Natsir, suara kaummu”.

   Pada 26/02/1967, M. Natsir bersama sejumlah ulama-pejuang mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Di keseharian, DDII juga kadang cukup disebut “Dewan Da’wah” saja.

   DDII adalah organisasi dakwah berbadan hukum. DDII berkembang ke seluruh Indonesia. Kantor pusatnya, di Jalan Kramat Raya No. 45 Jakarta. Landasan geraknya adalah kewajiban setiap Muslim dalam melaksanakan dakwah seperti yang dimaksud QS Ali-’Imraan [3]: 104).

   Adapun maksud dan tujuan DDII adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang islami. Caranya, dengan menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah di Indonesia berasaskan Islam, takwa, dan keridhaan Allah.

   Agar lebih jelas, berikut ini visi dan misi DDII. Visi DDII adalah: “Terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang islami dalam NKRI yang kuat dan sejahtera”.

   Selanjutnya, misi DDII: 1).Meningkatkan mutu da’wah di Indonesia yang berasaskan Islam, taqwa dan keridhaan Allah Ta’alaa; 2).Menanamkan aqidah dan menyebarkan pemikiran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah; 3).Menyiapkan du’at untuk berbagai tingkatan sosial kemasyarakatan dan menyediakan sarana untuk meningkatkan kualitas da’wah; 4).Menyadarkan umat akan kewajiban da’wah dan membina kemandirian mereka; 5).Membendung pemurtadan, ghazwul fikri dan harakah hadamah. 6).Mengembangkan jaringan kerjasama serta koordinasi ke arah realisasi amal jama’i. 7). Memberdayakan hubungan dengan berbagai pihak; pemerintah dan lembaga lainnya bagi kemaslahatan ummat dan bangsa. 8).Membangun solidaritas Islam Internasional dalam rangka turut serta mendukung terciptanya perdamaian dunia.
Sepenuh Upaya   

   M. Natsir berpulang ke Rahmatullah pada 05/02/1993 di Jakarta. Nyaris sepenuh perjalanan hidupnya dipenuhi oleh usaha-usahanya yang sangat serius dalam menegakkan dakwah Islam, termasuk “membawa” Islam ke level negara.(dono/ed)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *