Oleh : Ainur Rafiq Sophiaan
Pemerhati Sosial Politik di Surabaya
Surabaya, dewandakwahjatim.com – Demokrasi kita ada di ambang kematian. Sakaratul maut. Demikian salah satu clometan netizen di salah satu akun medsos. Tentang apalagi kalau bukan Kongres Luar Biasa – oleh netizen juga diplesetkan Kongres Liar Biasa- Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumut, Jumat (5/3/2021) lalu. Acaranya pun amat singkat. 40 menit. Termasuk pengukuhan Ketua Umum terpilih Moeldoko cukup 5 menit. Insya Allah KLB tersingkat di dunia dan akhirat !
Kini penonton panggung politik Indonesia tengah penasaran sambil menahan tawa ; apakah Kemenkumham sebagai keeper legalitas parpol akan menerima hasil KLB dan menilainya legal ? Jika menilik pernyataan Prof Dr Mahfudl MD (ingat beliau Profesor ya) selaku atasan Menkumham tampaknya AHY selaku pemegang kuasa partai mercy ini boleh optimistis. Kata Mahfudl, akan diteliti berdasarkan peraturan perundangan, Yaitu, UU Partai Politik dan AD ART Partai Demokrat tahun 2020 yang berlaku sekarang.
Namun, siapa tidak tahu panggung politik kita pinjam bahasa Achmad Albar adalah panggung sandiwara. Semua bisa terjadi. Semua bisa tak terjadi. Pagi tempe, sore kedelai. Siang gule, malam sate. Seperti fluktuasi kurs mata uang atau pergerakan saham-saham blue chips setiap detik dinamis. Argumentasinya bisa dibuat dalam bentuk apapun dengan cara apapun. Lihatlah bagaimana Jhoni Allen, Marzuki Alie, Max Sopacua (trio kwek-kwek promotor KLB) dan Jenderal pensiunan Moeldoko bisa berbicara berubah-ubah dalam hitungan jam. Tanpa beban. Tanpa takut dosa. Meskipun Moeldoko sudah membangun masjid Moeldoko dekat pintu keluar tol Bandar Kedungmulyo, Kab. Jombang.
Sebagai warga negara biasa yang hanya bisa menulis dan rasan-rasan kita mengelus dada. Kok bisa ? Oh iya saya lupa. Apa yang tidak bisa di republik yang berkali-kali dikutip pejabat berdasarkan Pancasila ini. You can buy everything in Indonesia, kata banyak ekspatriat yang sudah lama bekerja di sini. Mulai hamburger sampai peraturan perundangan bisa Anda beli eceran atau grosir. Dan masih ingatkah Anda, Ketua DPR Bambang Soesatyo pernah tahun lalu mengungkapkan, untuk menguasai partai politik cukup bermodal Rp 1 trilyun. Dan selanjutnya, kata mantan jurnalis itu, pengurusnya akan dikendalikan para cukong yang telah menjadi bohirnya.
Berapa ongkos membiayai KLB di Deli Serdang? Perkiraan tidak sampai Rp 1 trilyun. Meski proposalnya bisa lebih dari itu. Dari mana duit diperoleh ? Jawaban paling mudah ya wallahu a’lam. Dari logika ini wajar akan lebih murah membajak partai daripada membuat partai baru. Apalagi kalau Moeldoko berambisi maju capres di 2024 nanti. Murah. Meriah. Buy One Get All ! Tapi, siapa yang akan memilih dia dengan rekam jejak begitu ? Peduli amat. Cukup dengan hujan duit. Toh beberapa survai membuktikan, pemilih mencoblos pilihannya lebih dari 60 persen karena duit. Yang memilih karena ideologi, citra, visi, emosi, dan semacamnya hanya ada di buku teks ilmu politik dan ruang kuliah FISIP.
Pramono Anung, Sekretaris Kabinet dalam disertasinya “Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi” (2013) telah menulis testimoni yang obyektif dan ilmiah. Donald D. Horowitz juga menulis “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” (2013), dan agak baru dua peneliti asing menulisnya dalam frasa judul yang apik sekali,”Democracy for Sale” (2019). Sudah menjadi rahasia umum politisi harus menumpuk dan kemudian menebar harta kalau ingin tahta. Apalagi seorang Moedoko yang ada di jantung kekuasaan paling dalam pasti tak terhitung bohirnya. Di sinilah problem utama bangsa kita pasca-Reformasi yang telah merusak sendi moralitas berbangsa dan bernegara. Jeritan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah dianggap angin lalu.
Tragedi Deli Serdang jika tak disikapi secara fair dan obyektif oleh pemerintah selaku pemegang formal legal sebuah parpol akan berdampak kematian demokrasi total. Kebebasan berkespresi sudah menjadi momok dengan UU ITE, oligarki, plutokrasi, dan dinasti sudah menjadi watak politik praktis dan ekonomi kita. Pantas The Economist Intelligent Unit (EIU) 2020 lalu menempatkan perinkat 64 dalam Indeks Demokrasi Dunia. Tiga tahun berturut-turut melorot dengan kategori flawed democracy (demokrasi cacat). Kesalahan pemerintah dalam merespon KLB Partai Demokrat akan berujung indeks terjungkal lebih dalam.
Above all, muncul pertanyaan besar ; apakah Moeldoko sekadar wayang atau dalang ? Pikiran kritis akan menyatakan, dia hanyalah wayang dari dalang dengan skenario besar. Pertama, membungkam partai-partai nonkoalisi agar tidak vokal. PAN sudah diberi PR dengan Partai Ummat dan PKS dengan Partai Gelora. Mereka akan lemah secara alami. Dan Demokrat yang besutan SBY itu pun jadi TO berikutnya.
Nekatnya Moeldoko juga dicurigai sebagai langkah untuk mengganjal peluang Prabowo dan Anies Baswedan yang disebut-sebut berpeluang ikut kontestasi Pilpres 2024. Dalam konteks ini bukan tidak mungkin PDIP ikut menanam sahamnya yang belum punya kandidat kuat. Apalagi perseteruan Megawati dan SBY tak kunjung hilang. Dengan “disuntikmati” semua parpol di luar kabinet, maka agenda apa pun berikutnya akan mulus. Tinggal ketok palu. Matilah demokrasi !
Surabaya, 8 Maret 2021