Menjaga Lisan, Hati Jadi Bersih

Salah satu nikmat terbesar  Alloh untuk manusia berupa lisan.  Dengan alat penca indera ini manusia bisa berkomunikasi antar sesama. Tujuannya, saling memahami dan mengerti. Bukan sebaliknya, terjadi kesalahpahaman dan permusuhan.

Karena itu Islam mengatur bagaimana mempergunakan nikmat yang agung ini. Rasululloh bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari- Muslim).

Menurut Imam Syafi’i, makna hadits ini mengingatkan seseorang yang ingin berbicara hendaklah berfikir terlebih dahulu. Apabila telah jelas ucapannya  tidak berbahaya, dipersilakan melanjutkan. Apabila mengandung bahaya atau masih ragu-ragu (apakah berbahaya atau tidak, pen), hendaklah menahan ucapannya.

Rasululloh juga bersabda,“Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan kepada kebajikan, dan kebajikan itu menunjukkan ke surga. Sungguh seseorang itu benar-benar berbuat/berkata jujur sehingga dicatat di sisi Alloh sebagai orang yang selalu jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu menunjukkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan itu menunjukkan ke neraka. Sungguh seseorang itu benar-benar berbuat/berkata dusta sehingga dicatat di sisi Alloh sebagai orang yang selalu dusta.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, serta Malik, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad).

Karena itu menurut Ibnu Hibban, orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.

Dalam sebuah hadits Rasululloh bersabda,”Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat’ (Riwayat Bukhari-Muslim)

Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya

Ada seorang lelaki Badui datang menenui Rasululloh untuk meminta wasiat. Rasul berkata,” Bertakwalah kepada Alloh, jika ada orang yang mencela kekuranganmu, jangan kau balas dengan mencela kekurangannya. Maka dosanya ada padanya dan pahalanya ada padamu. Dan janganlah kamu mencaci maki siapapun.” Kata orang Badui tersebut,“Sejak itu saya tidak pernah lagi mencaci maki orang”. (Riwayat  Ahmad)

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasululloh, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (Riwayat Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan hadits tersebut bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan.

Perkataan yang kotor jelas dari  hati yang kotor. Penyakit ini biasanya disebabkan keinginan yang kuat untuk mengetahui segala sesuatu. Atau ingin mendapat perhatian dengan mengisi waktu dengan cerita-cerita yang tidak berguna. Padahal aktifitas seperti ini termasuk dalam perbuatan tercela.

Terapinya adalah dengan menyadarkan bahwa waktu adalah modal yang paling berharga. Jika tidak dipergunakan secara efektif maka akan merugikan diri sendiri.  Selanjutnya menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulut akan dipertanggungjawabkan. Ucapan yang keluar bisa menjadi jalan ke syurga atau jaring ke neraka.

Hasan al-Basri menegaskan,  ungkapan lisan seorang mukmin dari hatinya. Apabila si mukmin ingin mengatakan sesuatu maka disimpan  dulu dalam hatinya kemudian barulah diungkap pada lisannya. Sedang orang munafik lisannya mendahului hatinya, apabila ingin menyatakan sesuatu terus diungkapkannya tanpa disimpan dalam hatinya. (al-Kharaithy di dalam Makarim al-Akhlaq)

Orang yang beriman akan selalu ingat bahwa apa yang ia lakukan sesungguhnya selalu ada yang mengawasinya. Dalam al-Qur’an Alloh berfriman,”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf:18)

Tanda bersyukur pada nikmat lisan adalah menggunakannya pada jalan yang diridhai Alloh SWT.  Tidak menggunakan pada jalan yang dimurkai-Nya.

“Barangsiapa bisa menjamin kepadaku apa yang ada diantara kedua rahangnya, dan apa yang ada diantara kedua pahanya, maka aku menjamin surga untuknya. (Riwayat Muslim)

Kita memohon kepada Alloh agar mampu menjaga lisan kita. Amin (Bahrul Ulum)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *