Surabaya, dewandakwahjatim.com-Pemerintah saat ini terus menerus mengeluarkan kebijakan yang saling berkelindan untuk menciptakan keresahan pada umat Islam. Kalau sebelumnya menstigma buruk dengan label radikalisme-terorisme sehingga muncul berbagai kebijakan untuk menciptakan program deradikalisasi di berbagai aspek dengan berbagai pendekatan. Menteri agama juga membuat kebijakan baru bahwa guru non-muslim bisa mengajar di madrasah.
Saat ini muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) bersama Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. SKB tiga menteri mengeluarkan kebijakan agar pihak sekolah tidak mewajibkan anak didiknya mengenakan pakaian dengan atribut agama tertentu. Jelas sekali sasaran kebijakan ini kepada umat Islam dengan mengambil kasus di Sumatera Barat Padang dimana disinyalir ada sekolah yang memaksakan siswanya mengenakan jilbab. SKB tiga menteri ini, jelas bertentangan dengan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang ingin melahirkan anak bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlakul karimah.
SKB dan Pertentangan dengan UU
Munculnya SKB tiga Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri agama tertanggal 3 Pebruari 2021 telah menimbulkan banyak spekulasi. Sasaran tembak kepada umat Islam jelas terlihat dalam SKB itu. SKB yang melarang kepada pihak sekolah untuk menggunakan pakaian seragam yang beratribut agama tertentu, jelas menimbulkan ketersinggungan antarelemen umat Islam. Sebagaimana viral di media bahwa Mendikbud, melalui SKB tiga menteri mengeluarkan kebijakan tentang larangan bagi kepala sekolah untuk memaksakan pakaian yang mengarah pada agama tertentu.
Nadiem Makarim menjelaskan bahwa SKB ini diterbitkan berdasarkan tiga pertimbangan.
Pertama, sekolah memiliki peran yang penting dalam menjaga eksistensi ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD RI 1945, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kedua, bahwa sekolah dalam fungsinya untuk membangun wawasan sikap dan karakter para peserta didik harus memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan membina serta memperkuat kerukunan antarumat beragama.
Ketiga, bahwa pakaian seragam atribut bagi para murid dan guru adalah salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama.
Dalam SKB itu dijelaskan secara detail dengan beberapa butir yang bisa dijelaskan sebagai berikut.
- Pertama, pemerintah daerah atau sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam atau atribut kekhususan agama.
- Kedua, pemerintah daerah atau kepala sekolah wajib mencabut atau melarang keputusan ini ditetapkan.
- Tiga, jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.
- Keempat, pemerintah daerah memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan. Mendikbud juga menyatakan bahwa sanksi akan diberikan kepada sekolah yang melanggar aturan SKB ini. Sanksi berupa penghentian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan bantuan pemerintah lainnya.
SKB tiga menteri jelas tidak komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek. Aspek penting yang dilanggar oleh SKB itu menyangkut hal prinsip dalam kehidupan bernegara, dan beragama. Secara singkat bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, SKB ini jelas bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 Pasal 29 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya untuk menjalankan agamanya masing-masing. Dalam konteks bernegara, Mendikbud jelas melanggar aturan yang lebih tinggi dari SKB itu sendiri. Terlebih lagi, urusan berpakaian pemeluk suatu agama dikembalikan kepada agama itu sendiri. Cara berpakaian pemeluk suatu agama diatur berdasarkan interpretasi ulama dari agama itu sendiri. Oleh karena itu sangat berlebihan ketika Mendikbud mengintervensi dan membuat interpretasi yang akan menimbulkan polemik terhadap mereka yang memiliki otoritas dalam agama itu sendiri.
Kedua, SKB tiga Menteri itu menabrak dan mengabaikan tujuan pendidikan dalam UU No. 20 th. 2003. Dalam UU itu berbunyi: “Tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Mendikbud jelas kontra-produktif terhadap apa yang telah dirumuskannya sendiri, dimana tujuan UU adalah untuk membentuk pribadi siswa yang bertuhan dan berakhlak. Ketika cara berpakaian tidak merujuk kepada aturan agama itu sendiri, maka SKB ini mengajarkan pemurtadan pada agama itu sendiri.
Ketika cara berpakaian seorang muslimah yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad Saw dengan mengenakan jilbab, maka wajar apabila pihak sekolah mengarahkan kepada siswanya yang muslimah untuk mengenakan pakaian itu. Bisa dibayangkan apabila sekolah berlabel Islam kemudian membebaskan siswinya untuk tidak mengenakan jilbab. Sekolah itu akan tutup, karena orangtua muslim tak berminat terhadap sekolah yang tak mengarahkan anaknya untuk berpakaian sesuai dengan tuntunan agama.
Atas nama kebebasan, Mendikbud telah melakukan tekanan-tekanan psikologis terhadap tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Dengan otoritas yang dimiliki, Mendikbud justru melakukan tekanan yang tidak sehat. Para pendahulu bangsa ini telah mengeluarkan daya dan upayanya untuk menggodok aturan, dan itu berjalan puluhan tahun dan lintas generasi. Namun SKB ini telah menghancurkan upaya maksimal dengan kepentingan jangka pendeknya.
Apa yang terkandung dari SKB tiga menteri pantas dicurigai sebagai agenda terselubung untuk menyingkirkan agama dari ruang publik. Indonesia memang bukan negara agama, namun bukanlah negara sekuler. Apakah Mendikbud sedang melakukan upaya terselubung melakukan sekularisasi di Indonesia? Benar apa yang disampaikan Al-Qur’an bahwa manusia merasa sedang menciptakan perbaikan, padahal tak disadari bahwa dia sedang membuat kerusakan. Berikut pernyataan Al-Qur’an: Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan” (QS Al-Baqarah 11).(SS/Ed)